“Bangga menjadi Seorsang Petani Muslim”
Oleh : Harrik Saadillah Taslama Rabby
Berbicara profesi maka berbicara tentang mata pancaharian
dan mencari nafkah. Sesungguhnya agama islam juga memperhatikan kehidupan umat
islam di dalam kehidupan mereka di dunia. Islam menganjurkan kepada para pengikutnya
untuk bekerja dan berusaha. Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan Kami menjadikan siang untuk mencari penghidupan.” (An
Naba : 11).
Dan firman-Nya subhanahu wa ta’ala:
“Dan Kami adakan bagi kalian di muka bumi itu (sumber)
penghidupan. Amat sedikitlah kalian yang bersyukur.” (Al A’raf : 10).
Islam merupakan agama yang memerintahkan untuk aktif
bekerja, melakukan usaha di muka bumi dan memakmurkannya. Islam lebih menyukai
seseorang itu bekerja walaupun bagaimanapun kasar ataupun rendahnya pekerjaan
itu
Bahkan islam menganjurkan untuk memakan makanan dari hasil
usaha sendiri dan dikatakan hal itu lebih baik daripada makanan hasil
meminta-minta. Memakan makanan dari hasil usaha sendiri lebih baik dari pada
makan makanan yang mahal atau bergizi sekalipun tetapi itu hasil dari
meminta-minta. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ
عَمَلِ يَدِّهِ وَ إِنَّ نَبِيَّ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidaklah seseorang itu memakan makanan yang lebih baik
dari pada memakan makanan dari usahanya tangannya. Sesungguhnya nabi Alloh
Dawud ‘alaihsi salam memakan dari hasil usaha tangannya.”[2]
Dan perlu diketahui bahwasanya para nabi pun mereka bekerja
dengan profesi yang bermacam-macam. Mereka tidak mengandalkan hidup kepada
orang lain. Sungguh mereka adalah sebaik-baik contoh dalam segala hal. Dalam
suatu riwayat, Ibnu Abbas berkata: ” Nabi Adam ‘alaihis salam menjadi
petani, nabi Nuh ‘alaihis salam menjadi tukang kayu, nabi Idris ‘alaihis salam
menjadi penjahit, nabi Ibrohim ‘alaihis salam dan nabi Luth ‘alaihis salam
menjadi petani, nabi Shalih ‘alaihis salam menjadi pedagang, nabi Dawud
‘alaihis salam menjadi pandai besi, nabi Musa ‘alaihis salam, nabi Syua’ib
‘alaihis salam dan nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam menjadi
penggembala.” Para sahabat Rosululloh pun juga berdagang di daratan
maupun lautan, menggarap tanah dan lain sebagainya.[3]
Begitulah islam, mengajak agar umat islam tidak berpangku
tangan dan meminta-minta, akan tetapi menganjurkan untuk bekerja. Apalagi
kepada orang yang sudah mempunyai tanggungan nafkah seperti seorang suami atau
kepala keluarga maka dia wajib memberikan nafkah kepada istri dan keluarganya.
Alloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berfirman:
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para
ibu dengan cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah : 233).
Namun Alloh subhanahu wa ta’ala juga memberitahukan
bahwasanya pemberian nafkah itu sebatas kemampuannya, dan jangan
berlebih-lebihan ataupun terlalu kikir. Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberikan nafkah
dari harta yang diberikan Alloh kepadanya. Alloh idak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan (sekedar) apa yang Alloh berikan kepadanya…” (QS.
Ath-Thalaq : 7).
Di antara bentuk memberi nafkah berupa keperluan hidup
terutama sandang, pangan dan papan.
Dan sungguh bedosalah orang yang membiarkan dan
menelantarkan orang menjadi tanggungannya. Sebagaimana hadits dari Abdullah bin
Umar dia berkata, telah bersabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam:
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوْتُ (رواه
النسائي). و هو عند مسلم بلفظ : أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوْتَهُ
“Cukuplah seseorang itu berdosa dengan menelantarkan
orang yang wajib diberi
makan.
”Diriwayakan An-Nasai, dan dalam lafazh
riwayat Imam Muslim: “Ia menahan memberi makan terhadap oarang yang ia
miliki.”
Kemudian bagaimanakah sikap seorang muslim dalam bekerja dan
mencari nafkah. Apakah dia boleh menjadi orang yang sukses dan kaya? Berkata
Syaikh ‘Abdul ‘Adhim bin Badawi[6]: “Tidak mengapa
(hidup) dengan kekayaan bagi orang yang bertakwa.” Kemudian beliau berdalil
dengan sebuah hadits dari Muadz bin Abdullah bin Khubaib dari bapaknya dari
pamannya, dia berkata: telah bersabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam:
لاَ بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ اتَّقَى وَ الصِّحَّةُ لِمَنِ اتَّقَى
خَيْرٌ مِنَ الْغِنَى وَ طَيِّبُ النَّفْسِ مِنَ النَّعِيْمِ
“Tidak mengapa (hidup) dengan kekayaan bagi orang yang
bertakwa, kesehatan itu bagi orang yang bertakwa lebih baik (berharga) daripada
kekayaan, dan baiknya jiwa termasuk kebahagian.”
Begitulah petunjuk Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam
untuk umatnya, dimana beliau mengaitkan kekayaan dan ketakwaan. Karena memang
realita yang ada di tengah-tengah kaum muslimin terdapat orang-orang kaya
tetapi mereka tidak bisa menggunakan hartanya dengan benar sesuai dengan apa
yang diajarkan islam. Mereka tidak menggunakan kekayaannya untuk kepentingan
ketaatan kepada Alloh subhanahu wa ta’ala tetapi kebanyakan mereka justru
digunakan untuk bermaksiat. Hal ini terjadi dikarenakan mereka tidak bertakwa.
Justru yang kita lihat kebanyakan orang kaya malah menggunakan harta itu untuk
bermaksiat, menumpuk harta dan berfoya-foya, rakus terhadap dunia dan lalai
dengan akhirat.
Tetapi bagaimanakah dengan hasil binaan Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wa sallam yaitu para sahabat rodhiyallohu ‘anhum, mereka
adalah orang-orang bertakwa lagi diridhai Alloh . Bacalah sejarah para sahabat
rodhiyallohu ‘anhum dan para salafus shalih pasti di antara mereka terdapat
orang-orang kaya. Mereka bisa menggunakan hartanya untuk kemaslahatan dirinya
dunia dan akhirat, keluarga dan kepentingan umat islam, tidaklah itu bisa mereka
lakukan melainkan karena mereka adalah orang-orang yang bertakwa. Sehingga
mereka bisa menggunakan hartanya di jalan Alloh shollallohu ‘alaihi wa sallam
dan mereka tidak tertipu dengan dunia.
Jadi perlu diperhatikan sebelum berkecimpung di dalam sebuah
profesi, mental yang harus dipersiapkan adalah ketakwaan, sehingga kita bisa
memanfaatkan harta yang Alloh subhanahu wa ta’ala amanahkan kepada kita dan
tidak tertipu dengan harta dan dunia. Namun perlu diketahui ketakwaan hanya
didapat oleh orang yang faham dengan agamanya. Sedangkan kefahaman terhadap
agama didapatkan dengan mempelajari ilmu agama dan memahami agama dengan benar
yaitu memahami agama menurut pemahaman para sahabat rodhiyallohu ‘anhum
Kemudian Syaikh Abdul Adhim bin Badawi menegaskan: “Anjuran
untuk sederhana dalam mencari nafkah.”Beliau berdalil
dengan hadits dari Jabir bin Abdullah ra dia berkata telah bersabda Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wa sallam :
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا اللهَ وَ اجْمَلُوْا فِي الطَّلَبِ
فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَوْفَى رِزْقَهَا وَ إِنْ أَبْطَأَ
عَنْهَا فَاتَّقُوْا اللهَ وَ اجْمَلُوْا فِي الطَّلَبِ خُذُوْا مَا حَلَّ وَ
دَعُوْا مَا حَرَمَ
“Wahai manusia! Bertakwalah kalian kepada Alloh dan
perbaikilah dalam mencari (rizki), karena sesungguhnya seseorang tidak akan
mati sampai selesai/habis rizkinya dan jika ditangguhkan darinya maka
bertakwalah kalian kepada Alloh dan perbaikilah dalam mencari (rizki), ambillah
apa yang halal dan tinggalkan apa yang haram
Begitulah islam mengajarkan bagi kita untuk seimbang dalam
bekerja, kita disuruh berusaha dan juga bertawakkal, mencari yang halal dan
meninggalkan yang haram. Tidak usah takut akan kelaparan, karena tidaklah
seseorang itu akan mati sebelum habis rizkinya makanya kita disuruh berusaha
kemudian bertawakkal.
Pembahasan selanjutnya mengenai memilih profesi sebagai
petani. Profesi petani merupakan salah profesi yang ditekuni oleh para nabi,
diantaranya nabi Adam ‘alaihis salam, nabi Ibrohim ‘alaihis salam dan nabi Luth
‘alaihis salam. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang marfu’ yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas rahuma:
أَنَّ دَاوُدَ كَانَ زَرَّادًا (يَصْنَعُ الزَّرَدَ وَ الدُّرُوْعَ)
وَ كَانَ آدَمُ حَرَّاثًا وَ كَانَ نُوْحٌ نَجَّارًا وَ كَانَ إِدْرِيْسُ
خَيَّاطًا وَ كَانَ مُوْسَى رَاعِيًا
“Bahwasanya Nabi Dawud adalah seorang pandai besi
(pembuat baju besi), Nabi Adams adalah seorang petani, Nabi Nuh as adalah
seorang tukang kayu, Nabi Idris as adalah seorang penjahit (penenun) dan Nabi
Musa as adalah seorang penggembala.
Kegiatan pertanian juga dilakukan oleh Rosululloh shollallohu
‘alaihi wa sallam dan kulafaur rasyidin rodhiyallohu ‘anhum dan para sahabat
rodhiyallohu ‘anhum, mereka melakukan dan musaqat dan muzara’ah[11]. Dan di dalam sejarah disebutkan bahwa penduduk
Madinah yaitu para sahabat dari kalangan anshar berprofesi sebagai petani kurma
dan daerah Madinah sejak dahulu sebagian besar adalah daerah pertanian kurma.
Dalam kitab Shahihain diriwayatkan dari jalur Ibnu Syihab dari Al-A’raj dari
Abu Hurairah rodhiyallohu ‘anhu, ia berkata: “Orang-orang menuding Abu
Hurairah terlalu banyak meriwayatkan hadits-hadits dari Rosululloh shollallohu
‘alaihi wa sallam. Hanya kepada Alloh-lah tempat kembali. Orang-orang juga
menyatakan, ‘Mengapa kaum Muhajirin dan Anshar tidak meriwayatkan hadits
seperti Abu Hurairah?’ sesungguhnya saudara-saudaraku dari kalangan Muhajirin
sibuk berdagang di pasar, sementara saudara-saudaraku dari kalangan Anshar
sibuk mengurus kebun-kebun kurma mereka. Adapun aku hanyalah seorang fakir
miskin yang senantiasa menyertai Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam
dengan makanan sekedar mengganjal perut. Dan aku dapat menghafal hadits-hadits
yang terluput dari mereka.
Alloh menyuruh untuk mencari nafkah dengan cara halal. Dan
sesungguhnya pertanian adalah salah satu profesi yang halal dan bisa dijamin
kehalalannya oleh petani itu sendiri. Perhatikanlah seorang petani, dia bisa
menjamin kehalalan apa yang dia makan, misalnya dia menanam padi kemudian
dipanen dan nasinya dia makan maka dia akan tahu dengan jelas kehalalan makanan
yang masuk ke dalam perutnya.
Di antara baiknya suatu profesi adalah dilihat dari
kemampuan memberi manfaat bagi orang lain. Cobalah lihat pertanian, bidang ini
menyediakan bahan makanan bagi orang banyak, bahkan makhluk lain seperti
binatang. Perhatikanlah juga orang-orang kota mereka semua makan dan bahan
makanan mereka berasal dari jerih payah para petani, maka manfaat pertanian
sangat besar untuk keberlangsungan kehidupan manusia.
Dan ternyata ajaran islam memberikan anjuran untuk bercocok
tanam. Ini adalah sebuah lisensi dari ajaran islam terhadap pertanian